Rabu, 24 Agustus 2011

Bola Liar Interpelasi

Ternyata langkah pemerintah mendukung resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No 1747 tentang sanksi nuklir Iran menuai reaksi politik dari berbagai kalangan, terutama kalangan DPR. Sebagian anggota DPR bereaksi terhadap kebijakan pemerintah tersebut dengan cara mengusung usul hak interpelasi. Sampai sekarang, dukungan terhadap pengajuan hak interpelasi ini telah mencapai  270 orang.
Untuk lebih memahami pengertian hak interpelasi, maka kita harus membandingkan dengan pengertian hak angket. Dalam pasal 27 jo Penjelasan UU No 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

Sementara itu yang dimaksud dengan hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak interpelasi dan hak mengajukan pertanyaan seolah-olah mengandung isi yang sama, tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan prinsip, yakni bahwa hak interpelasi adalah hak DPR sebagai lembaga, sedang hak mengajukan pertanyaan adalah hak DPR sebagai anggota (Abu Daud Busroh, 1989).
Penggunaan hak interpelasi dan hak angket sebelum amandemen UUD 1945 mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda. Penggunaan hak interpelasi sebelum amandemen UUD 1945 dapat berakibat pada pemberhentian presiden, jika presiden dianggap melanggar haluan negara, setelah melalui tahap memorandum I dan II.
Sementara itu setelah amandemen UUD 1945 penggunaan hak interpelasi DPR tidak dapat berakibat pada pemberhentian presiden/wapres.
Hak interpelasi hanya berupa pertanyaan dari DPR kepada presiden. Jika jawaban presiden tidak memuaskan DPR, langkah maksimal yang dapat digunakan DPR adalah dengan menggunakan hak menyatakan pendapat.
Berbeda dengan hak interpelasi, penggunaan hak angket setelah amandemen III UUD 1945 dapat berakibat pada pemberhentian presiden asal presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana diatur dalam pasal 7A Amandemen III UUD 1945.
Akan sangat masuk akal jika pemerintah ‘ketakutan’ apabila DPR menggunakan hak angket, karena akibat dari penggunaan hak angket ini sungguh mengerikan, yakni pemberhentian presiden/wapres jika terbukti melanggar hukum.
Dengan demikian, apabila terjadi usul hak angket dari beberapa anggota DPR, maka fraksi pendukung pemerintah tentu akan berusaha keras melakukan lobi-lobi agar usulan hak angket dari beberapa anggota DPR tidak menjadi hak angket DPR.
Coba tengok peristiwa beberapa waktu yang lalu, yakni pada Sidang Paripurna DPR yang agendanya membahas hak angket DPR tentang impor beras, yang hasilnya ditentukan dengan voting, akhirnya kubu pendukung hak angket harus mengakui kelihaian kubu penolak hak angket.
 Voting tersebut ditawarkan tiga opsi, yakni menggunakan hak interpelasi, menggunakan hak angket, dan tidak menggunakan kedua-duanya. Akhirnya opsi yang ketiga yang mendapat suara terbanyak, dengan komposisi 151 mendukung hak angket, 107 mendukung hak interpelasi, dan 184 menolak keduanya. 
         
Namun, yang membuat heran kita adalah ketika DPR akan menggunakan hak interpelasi, pemerintah langsung menunjukkan kepanikan. Padahal akibat dari penggunaan hak interpelasi tidak sebegitu ‘mengerikan’ dibanding dengan penggunaan hak angket. Kepanikan dari pemerintah itu dapat kita lihat pada manuver pemerintah untuk menggagalkan interpelasi anggota DPR dengan cara melakukan lobi terhadap para politisi DPR.
Lobi dilakukan secara tertutup lewat Forum Dharmawangsa, semacam pertemuan lobi tingkat tinggi yang menghadirkan sejumlah kelompok kepentingan di Hotel Dharmawangsa, untuk membahas persoalan tersebut.
Memang jika kita menggunakan perspektif yuridis dalam menganalisis penggunaan hak interpelasi, maka penggunaan hak interpelasi DPR tidak akan membawa konsekuensi apa-apa bagi pemerintah. Tetapi, jika kita menggunakan perspektif politik dalam menganalisis penggunaan hak interpelasi, tentu hasilnya akan berbeda. Dalam analisis tentang penggunaan politik kekuasaan erat kaitannya dengan legitimasi.
Menurut Francis Fukuyama dalam The End History and The Last Man, legitimasi bukanlah keadilan atau hak dalam artian mutlak. Ia merupakan konsep relatif yang eksis dalam berbagai persepsi subyektif masyarakat. Kurangnya legitimasi di antara penduduk sebagai suatu keseluruhan tidak akan memunculkan krisis legitimasi bagi rezim itu kecuali ia mulai memengaruhi kelompok elit yang terikat dengan rezim itu sendiri.
Oleh karena itu janganlah heran manakala partai penguasa, yakni Partai Demokrat berusaha untuk mengintensifkan hubungan dengan partai-partai yang selama ini mendukung pemerintah.
Pengokohan legitimasi dari pemerintah tentu berkaitan dengan usaha pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya agar dalam pemilu 2009, partainya akan tetap mendapatkan tempat di hati rakyat.
Apalagi berdasarkan survei yang telah dirilis oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI), popularitas SBY-Kalla mengalami penurunan. Dengan demikian, mereka tentu akan berusaha keras untuk menjegal langkah parpol yang berusaha untuk mendelegitimasi kekuasaannya, termasuk usul penggunaan hak interpelasi.
Apabila usul interpelasi ini berkaitan dengan isu yang cukup sensitif secara politis, maka usul interpelasi itu akan mendapat respon positif dari anggota DPR yang lain. Mereka menganggap bahwa jika mereka menggunakan isu yang sensitif secara politis, maka mereka akan muncul sebagai pahlawan di mata rakyat.
Isu politis yang terbilang sensitif yang pertama adalah isu sentimen agama dan kedua adalah isu kesejahteraan rakyat, seperti kenaikan harga BBM.
Cukup efektifkah isu dukungan pemerintah Indonesia terhadap resolusi nuklir Iran sebagai alasan untuk mendelegitimasi kekuasaan pemerintah? Ingat, meskipun isu sentimen agama secara politis sensitif, tetapi belum tentu isu itu dapat digunakan untuk menarik keuntungan. Kita tentu tahu bahwa parpol yang berbasis agama yang selalu mengusung isu sentimen agama dalam setiap kampanye cukup banyak, tetapi mereka tidak mampu untuk mengalahkan parpol yang berbasis non agama.
 Oleh karena itu, manuver usul hak interpelasi yang sedang diajukan sebagian anggota DPR belum tentu menguntungkan secara politis. Apalagi isu sanksi nuklir Iran tidak langsung berkaitan dengan kepentingan masyarakat Indonesia.
Menurut Effendi Choirie, dari hitung-hitungan politik sementara, kemungkinan gagalnya penggunaan hak interpelasi kecil. Benarkah demikian? Dalam politik kita tidak bisa menggunakan hitungan secara matematis.
Memang pengusung hak interpelasi dari segi kuantitas untuk saat ini cukup kuat. Namun, hitungan kuantitas yang cukup kuat itu dapat berubah dalam beberapa saat, jika para politisi DPR tidak berhati-hati dalam mengawal usulan penggunaan hak interpelasi tersebut. Para anggota DPR seyogianya harus belajar dari pengalaman-pengalaman dulu, ketika penggunaan hak interpelasi pasti akan mentok, ketika terjadi voting.
Hananto Widodo
Kabiro Kebijakan Publik dan Otoda Lembaga Kajian Pembangunan Indonesia Jatim
Sumber:Surya Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar