Oleh Hananto Widodo
Ancaman paling menakutkan bagi rezim yang berkuasa adalah ketika setiap kebijakan yang dijalankan selalu diteror lawan-lawan politiknya. Mengapa demikian? Sebab, kalau kebijakan yang sedang dijalankan itu terbukti melanggar hukum atau merugikan rakyat, kedudukannya akan terancam.
Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini DPR akan menggunakan salah satu fungsi pengawasannya, yakni hak angket berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Menurut pendukung hak angket di DPR, kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM telah mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat.
Sebenarnya, pada masa pemerintahan SBY ini, DPR sering menggunakan fungsi pengawasannya untuk menembak setiap kebijakan SBY yang dianggap merugikan rakyat.
Beberapa kali DPR ngotot menggunakan hak angket dalam mengkritisi beberapa kebijakan pemerintah, tetapi selalu kandas. Paling maksimal, fungsi pengawasannya hanya hak interpelasi.
Baru kali ini, yakni dalam kasus kenaikan harga BBM, DPR bisa mengegolkan hak angket. Mengapa DPR sering gagal menggunakan hak angket dan mengapa baru sekarang DPR berhasil menggunakan hak itu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus terlebih dahulu memahami perbedaan antara hak interpelasi dan hak angket.
Strategis
Menurut UU No 22/2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 27 jo Penjelasan, hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sementara itu, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak interpelasi dan hak angket juga mempunyai perbedaan dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya. Hak interpelasi tidak akan membawa dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya. Sebaliknya, hak angket justru dapat membawa dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya.
Dalam pasal 7A amandemen III UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Sementara itu, dalam pasal 7B ayat (2) dinyatakan bahwa pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
Lalu, fungsi pengawasan DPR apa yang dapat menggiring presiden ke arah pemakzulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7B? Fungsi pengawasan itu tidak lain adalah hak angket. Oleh karena itu, janganlah heran bila pemerintah sangat takut terhadap penggunaan fungsi pengawasan tersebut, mengingat pada dampaknya.
Tetapi, menjadi mengherankan bila usul hak angket itu justru gagal dibendung oleh fraksi-fraksi pendukung pemerintah di DPR. Paling tidak, ada beberapa analisis yang dapat diajukan di sini. Pertama, sebagian besar parpol pendukung hak angket di DPR mempunyai wakil di kabinet pemerintah.
Dengan demikian, dampak penggunaan hak angket tersebut masih dapat diminimalisasi sehingga tidak akan sampai ke arah pemakzulan. Sebab, apabila para pendukung hak angket yang mempunyai wakil di kabinet ngotot menjatuhkan SBY, mau tidak mau parpolnya juga ikut terkena imbas.
Bagaimanapun, SBY dalam mengambil kebijakan menaikkan harga BBM juga mengikutsertakan para menterinya dalam rapat kabinet.
Kedua, waktu pemilu kurang satu tahun lagi sehingga parpol-parpol cenderung mencari popularitas untuk mencari simpati ke rakyat. Kubu fraksi pendukung pemerintah (Golkar dan PD) mendukung hak angket karena mereka ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa pemerintah tidak anti terhadap kritik sehingga terkesan demokratis. Sementara itu, kubu oposisi juga ingin menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap penderitaan rakyat akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.
Efektifkah?
Pertanyaannya, apakah hak angket efektif untuk menarik simpati rakyat? Berbagai hasil penelitian beberapa lembaga survei yang dilansir di berbagai media menyatakan bahwa kepercayaan rakyat terhadap parpol benar-benar rendah.
Penggunaan hak angket itu tentu tidak akan dapat mendongkrak kepercayaan rakyat terhadap parpol. Hak angket baru bisa diterima rakyat sebagai instrumen untuk memperjuangkan nasib mereka jika penggunaan hak angket tersebut dapat memberikan solusi yang dapat membebaskan rakyat dari penderitaan akibat kenaikan harga BBM. (Sumber: Jawa Pos, 18 Juli 2008).
Tentang penulis:
Hananto Widodo, dosen Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Surabaya.
Ancaman paling menakutkan bagi rezim yang berkuasa adalah ketika setiap kebijakan yang dijalankan selalu diteror lawan-lawan politiknya. Mengapa demikian? Sebab, kalau kebijakan yang sedang dijalankan itu terbukti melanggar hukum atau merugikan rakyat, kedudukannya akan terancam.
Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini DPR akan menggunakan salah satu fungsi pengawasannya, yakni hak angket berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM. Menurut pendukung hak angket di DPR, kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM telah mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat.
Sebenarnya, pada masa pemerintahan SBY ini, DPR sering menggunakan fungsi pengawasannya untuk menembak setiap kebijakan SBY yang dianggap merugikan rakyat.
Beberapa kali DPR ngotot menggunakan hak angket dalam mengkritisi beberapa kebijakan pemerintah, tetapi selalu kandas. Paling maksimal, fungsi pengawasannya hanya hak interpelasi.
Baru kali ini, yakni dalam kasus kenaikan harga BBM, DPR bisa mengegolkan hak angket. Mengapa DPR sering gagal menggunakan hak angket dan mengapa baru sekarang DPR berhasil menggunakan hak itu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus terlebih dahulu memahami perbedaan antara hak interpelasi dan hak angket.
Strategis
Menurut UU No 22/2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 27 jo Penjelasan, hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sementara itu, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak interpelasi dan hak angket juga mempunyai perbedaan dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya. Hak interpelasi tidak akan membawa dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya. Sebaliknya, hak angket justru dapat membawa dampak yang cukup signifikan dalam penggunaannya.
Dalam pasal 7A amandemen III UUD 1945 dinyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Sementara itu, dalam pasal 7B ayat (2) dinyatakan bahwa pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
Lalu, fungsi pengawasan DPR apa yang dapat menggiring presiden ke arah pemakzulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7B? Fungsi pengawasan itu tidak lain adalah hak angket. Oleh karena itu, janganlah heran bila pemerintah sangat takut terhadap penggunaan fungsi pengawasan tersebut, mengingat pada dampaknya.
Tetapi, menjadi mengherankan bila usul hak angket itu justru gagal dibendung oleh fraksi-fraksi pendukung pemerintah di DPR. Paling tidak, ada beberapa analisis yang dapat diajukan di sini. Pertama, sebagian besar parpol pendukung hak angket di DPR mempunyai wakil di kabinet pemerintah.
Dengan demikian, dampak penggunaan hak angket tersebut masih dapat diminimalisasi sehingga tidak akan sampai ke arah pemakzulan. Sebab, apabila para pendukung hak angket yang mempunyai wakil di kabinet ngotot menjatuhkan SBY, mau tidak mau parpolnya juga ikut terkena imbas.
Bagaimanapun, SBY dalam mengambil kebijakan menaikkan harga BBM juga mengikutsertakan para menterinya dalam rapat kabinet.
Kedua, waktu pemilu kurang satu tahun lagi sehingga parpol-parpol cenderung mencari popularitas untuk mencari simpati ke rakyat. Kubu fraksi pendukung pemerintah (Golkar dan PD) mendukung hak angket karena mereka ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa pemerintah tidak anti terhadap kritik sehingga terkesan demokratis. Sementara itu, kubu oposisi juga ingin menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap penderitaan rakyat akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM.
Efektifkah?
Pertanyaannya, apakah hak angket efektif untuk menarik simpati rakyat? Berbagai hasil penelitian beberapa lembaga survei yang dilansir di berbagai media menyatakan bahwa kepercayaan rakyat terhadap parpol benar-benar rendah.
Penggunaan hak angket itu tentu tidak akan dapat mendongkrak kepercayaan rakyat terhadap parpol. Hak angket baru bisa diterima rakyat sebagai instrumen untuk memperjuangkan nasib mereka jika penggunaan hak angket tersebut dapat memberikan solusi yang dapat membebaskan rakyat dari penderitaan akibat kenaikan harga BBM. (Sumber: Jawa Pos, 18 Juli 2008).
Tentang penulis:
Hananto Widodo, dosen Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Negeri Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar