Jalan Terjal KPK
Oleh Hananto Widodo
Entah sudah berapa kali hampir terjadi “pembunuhan” terhadap KPK. Mulai kriminalisasi pimpinan KPK Bibit-Chandra. Lalu “pemangkasan” kewenangan KPK melalui RUU yang sekarang sedang dibahas di DPR. Dan sekarang yang terakhir berkaitan dengan pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa KPK lebih baik dibubarkan karena menurut Marzuki Alie, KPK disinyalir telah mendapat suap dari Nazarudin berdasarkan pengakuan dari Nazarudin yang belum tentu benar.
Kalau kita mau melihat pernyataan Marzuki Alie, maka kita tidak bisa melihat pernyataan itu dari satu aspek saja. Artinya kita tidak bisa melihat pernyataan Marzuki Alie itu sebagai pernyataan pribadi dia. Kemungkinan ada rencana besar untuk “membonsai” bahkan “membunuh” KPK.
Analisis semacam ini bukan tanpa dasar, dan ini semua beranjak pada fakta yang selama ini disajikan di hadapan kita. Fakta yang pertama adalah Marzuki Alie melontarkan pernyataan itu ketika Partai Demokrat sedang terjadi guncangan akibat “nyanyian” Nazarudin. Kalau sampai “nyanyian” Nazarudin terbukti maka dapat dibayangkan bagaimana nasib Partai Demokrat ke depan. Tentu para petinggi yang disebut oleh Nazarudin bakal habis karir politiknya. Dan tidak menutup kemungkinan “nyanyian” Nazarudin akan menjadi bola salju yang akan menguak lebih banyak lagi rahasia para petinggi Partai Demokrat lainnya. Apalagi Nazarudin juga menyatakan bahwa uang hasil korupsi itu juga mengalir ke Partai Demokrat.
Jika pernyataan Nazarudin itu kembali terbukti maka tidak hanya berakibat pada bubarnya Partai Demokrat sebagai Partai Politik, tapi juga bisa mengarah pada impeachment terhadap SBY. Mengapa? Karena figur yang paling dianggap tahu tentang seluk beluk Partai Demokrat adalah SBY, sebab di samping SBY sebagai Ketua Dewan Pembina dia adalah sebagai Pendiri Partai Demokrat.
Dengan demikian jika memang Partai Demokrat terbukti menerima dana hasil korupsi, maka SBY bisa dianggap yang paling bertanggung jawab. Meski proses untuk melakukan impeachment itu bukan persoalan mudah sebab impeachment harus dimulai dari proses hak angket. Itu pun juga hasil dari hak angket harus diteruskan melalui mekanisme hak menyatakan pendapat. Setelah itu hasil dari pengawasan DPR itu harus dinilai oleh Mahkamah Konstitusi (MK) (vide Pasal 7B UUD 1945). Apalagi disinyalir banyak Parpol yang bermasalah dengan keuangannya. Artinya Parpol di parlemen juga ikut tersandera dengan masalah ini.
Fakta kedua berkaitan dengan perilaku pelaku-pelaku politik secara keseluruhan, khususnya anggota-anggota DPR. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa sebagian anggota DPR setuju dengan pernyataan Marzuki Alie hanya karena kebetulan Partai Demokrat sedang mengalami guncangan maka hal ini dimanfaatkan rival Partai Demokrat untuk “menghantam” Partai Demokrat.
Asumsi bahwa sebenarnya anggota DPR banyak yang tidak nyaman dengan eksistensi KPK dapat kita lihat pada usaha yang dilakukan oleh DPR baik itu tindakan berupa pemangkasan kewenangan KPK melalui proses legislasi di DPR maupun perkataan anggota DPR yang menyatakan bahwa sifat kelembagaan KPK adalah ad hoc. Mereka mengartikan ad hoc sebagai lembaga yang bersifat sementara.
Padahal arti ad hoc seperti yang dijelaskan dalam media hukumonline bukan sementara, tapi dengan tujuan tertentu. Oleh karena itu eksistensi KPK tetap diperlukan selama korupsi masih merajalela di negeri ini.
Mengapa KPK?
Pertanyaannya adalah mengapa hanya KPK yang selalu jadi sasaran “pembonsaian” oleh pihak lain? Padahal secara konstitusional kedudukan KPK kurang begitu kuat karena eksistensi dan kewenangan KPK tidak diatur dalam UUD. Sebenarnya ada lembaga yang secara konstitusional lebih kuat dibanding KPK karena eksistensinya diakui oleh UUD.
Namun lembaga ini seakan-akan tidak mendapat gangguan apa-apa. Lembaga ini adalah Komisi Yudisial (KY). Sebenarnya KY juga pernah mendapat serangan dari hakim Mahkamah Agung (MA) yang merasa terganggu dengan kinerja KY. Berbeda dengan DPR yang hingga sekarang ini belum berhasil untuk “membonsai” KPK, justru hakim MA berhasil memangkas kewenangan KY dalam mengawasi kinerja hakim melalui uji materiil terhadap UU No 22 Tahun 2004 oleh MK.
Baik KPK maupun KY merupakan dua lembaga negara di luar tiga cabang kekuasaan utama, yakni ekseskutif, legisatif, yudisial (state auxiliary agencies). Munculnya lembaga seperti KPK dan KY disebabkan karena adanya krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga utama negara.
Harusnya munculnya KPK bisa dimaknai sebagai stimulus bagi pihak Kejaksaan dan Kepolisian agar lebih giat dalam melakukan tindakan pemberantasan korupsi. Akan tetapi sampai sekarang Kejaksaan justru menjadi bagian dari korupsi. Coba tengok kasus Jaksa Urip Tri Gunawan dan Cyrus Sinaga.
Begitu juga dengan pihak Kepolisian tidak memandang KPK sebagai partner kerja dalam pemberantasan korupsi. Namun memandang KPK sebagai lembaga yang mengancam eksistensinya. Kita tentu ingat dengan kasus Cicak Vs Buaya di mana Pihak Kepolisian berupaya untuk melakukan kriminalisasi terhadap KPK.
Beranjak pada fakta tersebut maka tidak ada alasan untuk membubarkan KPK. Bahkan akan lebih baik jika kewenangan KPK diperkuat dengan menaikkan derajatnya dari lembaga negara yang hanya diatur melalui UU menjadi lembaga negara yang eksistensinya diatur dalam Konstitusi.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Surabaya dan Fellow Jejaring Intelektual Publik Indonesia (JIPI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar